Biasanya... habis libur panjang Idul Fitri, kita kan minta anak² bikin refleksi. Tentang apa yang mereka pelajari selama liburan, nilai² yang mereka temukan dari silaturahmi, dari momen kebersamaan, meski dalam hal ini catatanya harus berhati² jangan sampai refleksinya jadi ajang lomba ini itu, yang penting adalah mengambil nilai² baiknya dari liburan kemarin.
Tapi kali ini... izinkan saya yg justru ingin berefleksi. Bukan sebagai guru, tapi sebagai murid. Murid kehidupan, murid dari guru saya sendiri.
Lebaran kemarin saya bersilaturahmi ke rumah guru saya waktu STM dulu (saya anak STM). Dan ternyata bukan cuma saya yg datang. Masih banyak murid² beliau dari angkatan yang berbeda-beda juga hadir. Bahkan tidak hanyabpas idul fitri, hari² biasa kadang juga ada yang silaturahim kesana, murid² nya masih suka datang. Masih merasa butuh menyapa.
Dan itu bikin saya mikir... sosok seperti apa sih beliau sampai bisa begitu membekas di hati kami para muridnya?
Saya ingat betul, waktu beliau mengajar dulu... hampir nggak pernah marah. Bicaranya selalu pelan, tenang, tapi dalam. Bahkan ketika kami salah, seperti salah pasang komponen, salah masang baut, salah prosedur praktik, beliau cuma tersenyum dan bilang, “Yang benar begini ya... Bisa kan? Yuk, jangan diulang lagi. Kamu pasti bisa.”
Gitu aja. Tapi rasanya... ngena banget. Kita nggak merasa dihakimi. Justru termotivasi.
Dan yg bikin saya makin hormat... beliau nggak pernah jaga jarak sama murid. Di luar kelas pun ngobrol bareng, becanda bareng, dengerin curhatan kami. Semua dihargai. Nggak ada istilah murid pintar dimanja, murid nakal dijauhi. Semua dianggap penting dimata beliau.
Saat saya sudah jadi guru dan sempat merasa down karena tugas² yg berat, beliau masih hadir. Menemani, menguatkan, bukan menyalahkan. Saya masih ingat kata-katanya, bukan petuah panjang lebar... tapi kehadiran beliau saja sudah cukup bikin saya merasa tidak sendiri.
Dan sekarang... saya merasa kecil. Saya merasa masih jauh dari menjadi guru sebaik beliau. Tapi silaturahmi kemarin jadi momen penting buat saya. Seolah saya sedang bercermin. Dan cermin itu memantulkan sosok guru yang saya ingin dan sedang belajar untuk menjadi guru yang lebih baik.
Terima kasih, Pak Guru. Terima kasih atas setiap senyum, setiap kata lembutmu, setiap kesabaranmu. Semoga semua kebaikanmu terus mengalir jadi pahala tanpa henti.
Saya masih murid, Pak. Murid yg sedang belajar menjadi guru sepertimu.
#gurumeraki
#kembalimendidikmanusia
#gerakansekolahmenyenangkan.
Ada apa dengan kelas kita?
Tadi pagi saya mebukis tentang nilai yg saya dapatkan dari silaturahim ke rumah guru saya. Sore ini saya mencoba mengurai hal yang saya temukan ketika liburan kemarin di jalanan. Libur Idul Fitri kemarin, saya seperti banyak dari kita kan mudik, bersilaturahmi, menikmati momen bersama keluarga. Tapi, di sela² perjalanan itu, saya justru menemukan banyak hal yang mengusik hati. Bukan tentang capeknya perjalanan atau panjangnya antrean, tapi soal perilaku yanng saya kira sepele, namun ternyata menyimpan tanda tanya besar dalam hati saya… sebagai seorang guru.
Saya masih ingat, di satu ruas jalan… macet. Panjang. Lalu saya lihat, ada mobil yang parkir bukan di bahu jalan, tapi di badan jalan bagian pinggir, cukup makan ruang. saya tengok...supirnya kosong. Nggak ada sopirnya. Mungkin lagi beli sesuatu karena berhenti di jalan depam toko. Dan itu cukup membuat lalu lintas tersendat. Pemandangan serupa tidak hanya sekali dua kali. Orang parkir di jalan dan supirnya tidak ada.
Belum habis heran saya, di depan mobil saya, sebuah mobil lumayan mewah. Jendelanya dibuka perlahan… saya kira dia ingin tanya arah. Tapi ternyata, yang keluar justru sebotol plastik kosong… dibuang begitu saja ke pinggir jalan. Seolah… itu hal biasa.
Di jalan lain, saya lihat tumpukan sampah… bukan di TPA, bukan juga tempat pembuangan sementara. Tapi di pinggir jalan. Banyak. Seperti sudah jadi tempat umum membuang apa saja disitu.
Dan puncaknya, saat kemacetan mulai mengular… saya lihat beberapa kendaraan mengambil jalur kanan jalur berlawanan arah. Mungkin karena tidak sabar, atau ingin cepat. Tapi justru malah memperparah kemacetan karena berhadapan dengan kendaran dari arah berlawanan.
Dari perjalanan itu, saya merenung…
Apa yang salah?
Atau lebih tepatnya… ada apa dengan pendidikan kita?
Karena yang saya lihat bukan orang² tak berpendidikan. Mereka bisa punya mobil, bisa mudik, bisa liburan. Artinya… secara ekonomi, secara struktur sosial, mereka cukup mapan. Tapi... mengapa ada sesuatu yang hilang?
Mengapa tidak ada empati? Tidak ada kesadaran bahwa kita tidak hidup sendiri di dunia ini? Bahwa jalanan, bumi, lingkungan ini bukan milik pribadi?
Sebagai guru, ini menggugah saya. Apakah pendidikan yg kita berikan selama ini hanya berhenti pada pengetahuan? Pada kompetensi kognitif? Apakah kita sudah benar² menanamkan nilai, membentuk karakter, menumbuhkan hati yg peka?
Teman² guru…
Apakah Bapak Ibu juga menjumpai hal² serupa kemarin pas liburan?
Dan apa yg terpikir di benak Bapak Ibu?
Karena bagi saya… pertanyaan itu terus menggema: “Ada apa dengan pendidikan kita? Ada apa dengan kelas kita?”
(Kasus ini bisa jadi bahan membangun kesadaran melalui dialog dengan anak² dikelas kita)
#gurumeraki
#kembalimendidikmanusia
#mandiriberdayaberdampak
#gerakansekolahmenyenangkan
0 Comments